Saturday, March 1, 2008

Buku Menkes Bikin Gerah AS dan WHO

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).

Setelah virus menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.

Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, ia juga meluncurkan buku serupa dalam Bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to Change. Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung. Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonspirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes WHO.

Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak 1.000 eksemplar untuk bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku. Selain rencana mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950 ini mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua. Ia justru enggan mengomentari permintaan SBY yang memintanya menarik buku dari peredaran.

Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu. Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun.

Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005. Majalah The Economist London menempatkannya sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi menyelamatkan dunia dari dampak flu burung. Disebutkan, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.

Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) Hongkong memintanya menyerahkan sampel spesimen. Mulanya, perintah itu diikuti. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong? Fadilah merasa ada yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis dan kemudian dibuat bibit virus.

Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Di sini, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar negara maju dan kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya keseluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi. Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin. Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC.

Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?

Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya. Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ.

Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaranvirus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.

Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO diakhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails